Kamis, 08 Juli 2010

Hidup Adalah Pengabdian

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah panggilan Allah dan Rasul-Nya, apabila Rasul memanggil kamu kepada sesuatu yang memberi hidup kepada kamu”. (QS. Al-Anfal : 24)

Yang dimaksud kata hidup dalam ayat tersebut di atas, bukanlah hidup yang sekedar bernafas dan bergerak, tetapi sebagaimana dijelaskan dalam sambungan ayat selanjutnya : “....Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”

Jadi barulah seseorang itu dianggap hidup oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, apabila dia tidak bersikap masa bodoh melihat bermacam maksiat disekelilingnya.

Memenuhi panggilan Allah berarti men-dekatkan diri kepada-Nya, taqarrub ilallah. Dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah ini, Rasulullah saw pernah menjelas-kan dalam satu hadits Qudsi, bagaimana sebenarnya sambutan Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dengan firman-Nya : “Apabila hamba-Ku mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta; apabila dia mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekati-nya satu depa”.

Dan selanjutnya Allah SWT berfirman :
“Apabila hamba-Ku itu mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari”. (Hadits Qudsi)

Demikianlah gambaran yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang sikap dan sambutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang berusaha taqarrub (men-dekatkan) diri kepada-Nya.

Berbahagialah orang-orang yang telah berhasil mendekatkan diri kepada Allah. Mereka mendapat julukan “Ibaadur Rahman”, hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih dan kepada mereka Allah telah memberikan jaminan dengan firman-Nya : “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, (katakanlah wahai Muhammad) bahwasannya Aku ini dekat, dan Aku pasti akan mengabulkan per-mohonan (do’a) seorang hamba yang sungguh-sungguh berdo’a kepada-Ku”. (QS. Al-Baqarah : 186).

Satu jaminan yang tidak perlu diragukan lagi, apa saja yang dilakukannya, berbentuk amal shaleh, situasi dan keadaan bagaimanapun yang sedang dihadapinya, Allah senantiasa menyertainya, sehingga dia tidak perlu merasa takut dan khawatir, laa khaufun ‘alaihim wa laahum yahzanuun !.

Marilah kita coba melihat sebentar bagaimana sifat hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu, Ibaadur Rahmaan : “Hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu ialah yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati”. (QS. Al-Furqan : 63).

Kita manusia adalah makhluk yang lemah, mudah tergoda. Kekuasaan, harta dan ilmu pengetahuan mudah menyebabkan kita lupa daratan, sehingga dalam tindak-tanduk serta amal perbuatan kita tergambar sifat takabur, angkuh dan sombong, jauh dari rasa kasih sayang dan rasa kemanusiaan. Tidaklah demikian pada orang-orang yang memahami arti hidup menurut ajaran Islam.

Sebuah contoh :
‘Ali bin Abi Thalib, sewaktu menjadi khalifah, beliau berurusan dengan seorang Yahudi, soal sebuah baju perang yang terbuat dari besi. Baju besi kepunyaan ‘Ali dicuri oleh seorang Yahudi, tetapi ‘Ali dengan kekuasaan yang ada padanya sebagai kepala negara (khalifah) tidaklah mau jadi hakim sendiri. Dia menyerahkan persoalan itu kepada lembaga pengadilan.

Tidaklah merasa terhina sekalipun dia disamakan dengan orang Yahudi di depan pengadilan, tidak diperlakukan secara istimewa. Begitulah peraturan yang harus berlaku dengan tidak membeda-bedakan antara seorang kepala negara dengan rakyat biasa.

Setelah persoalan itu diperiksa oleh hakim, ternyata ‘Ali tidak bisa mengemukakan bukti dan dua orang saksi, maka dengan penuh percaya diri, hakim memutuskan bahwa baju besi itu tetap menjadi milik orang Yahudi. Suraih, hakim dalam perkara ini mengalahkan khalifah ‘Ali, padahal dia diangkat oleh ‘Ali untuk jabatan hakim itu.

“Dunia boleh runtuh, tetapi keadilan harus ditegakkan !” Demikian bunyi pepatah.

Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).

Keputusan hakim itu diterima oleh ‘Ali bin Abi Thalib dengan wajah yang tenang dan dengan patuh mentaatinya, “Sami’na wa atha’na”. Melihat sikap dan kepatuhan ‘Ali kepada keputusan hakim, sikap yang sangat indah dari seorang kepala negara, maka orang Yahudi merasa terharu, akhirnya dia mengakui kesalahannya, mencuri baju besi ‘Ali.

Dia tinggal di bawah kekuasaan Islam, di tengah-tengah kaum muslimin, tetapi dia merasa sangat merdeka, hak asasinya sebagai manusia dihormati, sebagaimana kata pepatah : “Tidak ada kemerdekaan tanpa keadilan!”.

Khalifah ‘Ali merasa bersyukur karena ternyata tuduhannya benar. Besar dosa seseorang yang menuduh orang yang tidak bersalah. Kemudian dia langsung mengusulkan kepada hakim supaya saudaranya, orang Yahudi itu, jangan dihukum. Sikap ‘Ali selanjutnya lebih mengharukan lagi, yaitu baju besi itu diberikannya kepada orang Yahudi, sebagai bukti kebersihan hatinya, tidak ada rasa benci dan dendam. Pemberian itu sebagai hadiah serta tanda persaudaraan antara khalifah dengan rakyatnya, antara Muslim dan Yahudi.

Persaudaraan dalam Islam melampaui batas-batas geografis, batas-batas kebangsaan atau kesukuan. Islam tidak mengenal perbedaan bahasa dan warna kulit dalam menegakkan persaudaraan ummat manusia sedunia.

“Manusia dan manusia itu adalah bersaudara sekalipun diliputi oleh rasa cinta maupun benci” (Al-Hadits).

Demikian persaudaraan dalam Islam.

Penampilan ‘Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah (kepala negara) tidaklah seperti yang sering digambarkan orang : “Kalau besar melanda, dan kalau kuasa menindas!”

Hidup seorang muslim adalah sebagai pohon yang besar dan rindang, tempat orang berteduh melepaskan lelah, buahnya pelepas dahaga, akarnya tempat duduk dan pohonnya untuk bersandar, merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Dan hakim Suraih benar-benar memperlihatkan keteguhannya dalam usaha me-negakkan hak dan keadilan, tidak memperlihatkan sedikitpun rasa takut kepada atasannya. Tidak ada yang ditakutinya dalam menegakkan hak kecuali Allah SWT.

Pernah saya bertanya kepada seorang pakar hukum, apakah kalau seorang hakim digaji Rp 10.000,- dalam sebulan, dia akan menegakkan keadilan? Dia menjawab, soalnya bukan soal gaji, soalnya soal ke-imanan dan akhlaq.

Berbahagialah bangsa yang pemimpin-pemimpinnya mencintai rakyat dan rakyat menghormati pemimpin-pemimpin mereka.

‘Ali bin Abi Thalib, seorang kepala negara, memperlihatkan bagaimana corak seorang fundamentalis muslim, yaitu orang yang hidupnya dibangun di atas fundamen atau landasan ajaran Islam, Qur’an dan Sunnah. Nabi Muhammad saw dalam satu hadits menggambarkan bahwa seorang Muslim adalah seperti seekor lebah, kalau hinggap di atas sebuah ranting, bagaimanapun kecilnya ranting itu, maka ranting itu tidak akan patah. Yang dimakannya barang yang baik dan nanti dikeluarkannya kembali berupa madu, yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Alangkah indahnya, demikian ajaran Islam.

Kita semua tentu ingin menjadi orang-orang yang dekat dengan Allah SWT, menjadi ibadur-Rahman, tetapi terasa bahwa untuk mencapai tingkat yang mulia itu tidaklah semudah mengucapkannya. Kita merasa bahwa kita adalah makhluk yang mudah tergoda oleh godaan setan dan ajakan hawa nafsu, sedangkan titik tolak untuk menjadi hamba-hamba Allah yang dicintai-Nya haruslah lebih dahulu me-ninggalkan segala apa yang dilarang-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar